Rabu, 21 April 2010

Potret Sampah Kartini Muda Yang Terbuang

Sehari Setelah Hari Kartini..
Dia tak habis pikir, Kenapa harus??
Harus? Sebuah kata sarat makna tradisi. Bicara tradisi berarti bicara “keharusan” tanpa boleh bertanya! Harus tidak selamanya benar, benarpun tidak serta merta harus.

Bismillahirrahmanirrahim.
Lantas bertadarrus ayat-ayat suci Al-Qur’an meski terus larut dalam tanya. Dia perempuan. Besok, perempuan ini harus merelakan mahkotanya di robek, sakit berdarah. Khitan. Kata ini begitu menakutkan, menghantuinya setiap saat. Menurut dia tak penting malah lebih akan menyakitinya. Tapi lagi-lagi harus. Ini sudah tradisi, jangan bantah !!

Tradisi Khitan pada perempuan Lebih kepada Sadisme yang terjustifikasi Adat. Yang mungkin dimaksudkan untuk menurunkan gairah seksual perempuan. Agar Supaya istri-istri tidak berbuat “nakal”. Sebaliknya, para suami seenaknya serong kiri-serong kanan, gampangnya melampiaskan hasrat seksualnya ke perempuan lain.

Mungkin ini salah satu betapa kuasanya lelaki atas perempuan. Juga betapa lemahnya perempuan serta ketidakberdayaan dalam cengkraman kuat nan perkasa lelaki. Perempuan yang tak pernah bercita-cita jadi ratu rumah tangga. Tak pula punya hasrat jadi penguasa dapur. Tapi sekali lagi, apa daya. Satu yang pasti, harus harus jadi pekerja rodi di tempat tidur. Tak banyak pilihan. Mereka wajib patuh pada baginda lakinya. Melawan ingin suami segera di cap sebagai istri “durhaka”. Keadaan yang sungguh berat, membuat perempuan memberontak. Yah..berontak lewat tubuh.

Perempuan melawan dengan tubuhnya. Mengumbar tubuh luas-luasnya, go public untuk setiap khalayak lelaki. Meminimkan roknya, membiarkan payudaranya sedikit menghirup angin, angkat paha setinggi-tingginya bahkan tanpa busana sekalipun. Telanjang sini telanjang sana. Sama saja.
Di sudut sana nyanyian pelacur mengalun merdu. Perempuan terkapar fitrahnya dalam dunia yang jelas sama sekali bukan inginnya, tak ada pilihan. Tertimbun di tumpukan maksiat. Mungkin dengan jalan ini mereka dapat menebus mimpi, membeli mimpi. Mengecer dosa saat demi saat. Ikhlaskanlah tubuhmu. Rasai semua ranum tubuh lelaki. Hancurkan adidaya mereka dengan pesolek rayuanmu sekalian. Benamkan mereka dalam permainanmu. Habisi mereka di malam itu. Di ranjang itu kalian bebas menginjak-injak mereka. Sesekali tidurilah pejabat-pejabat tinggi itu. Lihatlah betapa tak lebih baiknya mereka. Tak juga melampaui moral kalian. Coba lihat..Mereka membisikkan revolusi dan perjuangan sembari melepas tali kutangmu. Menjanjikan suatu kesejahteraan sambil mengangkat pahamu. Dan dengan khusuknya memberimu sedikit sakit, becek darah yang tak mesti tumpah..mendesah terus.

Pernahkah mereka istigfar kala memberimu dosa??
Kalian melakukan dosa manis ini demi perut, demi anak, demi keluarga tersayang, demi banyak hal terkasih. Sedangkan pejabat sampah itu mencuri uang rakyat tuk kepentingan bodoh pribadi. Kalian menjual tubuh, parahnya Mereka menjual diri.
Dalam persekutuan tubuh, harapkan mendapatkan diri. Bukan bersetubuh tapi bersediri. Semoga dalam diri ada Tuhan. Bersekutulah dengan (Tuhan), bukan bersekutu dengan (Tubuh).

Perempuan bertilawah, tetap “konsisten”, tidak beranjak dari posisi “bawah”. Perempuan bertadarrus, masih terus menjalani nasibnya dalam ruang sempit kedikdayaan budaya laki-laki, patriarkat. Perempuan selanjutnya tetap dalam bingkai tradisi. Sejarah dan perempuan masih memberi potret “sampah” kemanusiaan. Come On Girls, Fight n Burn Together !!

Sadaqallahul Adzim

Akhirnya, saya kutip dari musthofa bisri; Telah selesai ayat-ayat di baca, telah sirna gema-gema sari tilawahnya, Marilah kita ikuti acara selanjutnya. Masih banyak urusan dunia yang belum selesai, masih banyak kepentingan yg belum tercapai, masih banyak keinginan yg belum tergapai.
Marilah kembali berlupa. Insya Allah Kiamat masih lama. Amieen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar