Kamis, 05 Maret 2009

Mencermati Aksi-Aksi Premanisme Oleh Kaum Intelektual


Akhir-akhir ini, kembali nama kampus sebagai wadah yang diharapkan menciptakan kaum intelektual, pencipta manusia-manusia yang masuk dalam kelompok Creative Minority sebuah kelompk kecil dari masyarakat yang mampu keluar dari stagnasi dan melakukakan serangkain langkah perubahan dari rakyat untuk rakyat, tercoreng oleh ulah sebagian mahasiswa (oknum mahasiswa) yang entah atas nama apa mampu mendorong dan menggerakkan mereka serta membuat sebuah legitimasi atas tindakan-tindakan yang bernuansa anarkhis ataupun sangat identik dengan apa yang selama ini dikategorikan prilaku premanisme.
Menjelang perhelatan akbar (baca, pesta rakyat meniti lorong panjang demokrasi) tahun 2009, yang salah satu tema besarnya adalah kepemimpinan nasional yang diharapkan para pemuda khususnya mahasiwa pro aktif dan masuk dalam bursa kepemimpinan tersebut untuk lebih mewakili suara-suara yang lebih progresif menuju indonesia yang lebih maju, bangsa yang lebih mampu mengambil sikap kritis dalam konstelasi sejarah dunia ternyata masih menorehkan tinta hitam dalam rumahnya sendiri yaitu kampus, tempat dimana mereka tumbuh berkembang dalam ruang lingkup dinamika intelektualitas. Noda hitam yang mungkin masih warisan masa lalu ketika militerisme dianggap sebagai jalan keluar pada hampir seluruh permaslahan kebangsaan.
Kondisi demikian banyak menyisakan pertanyaan dalam benak kita semua, apakah hari ini kampus sudah tidak mampu mewadahi perkembangan moral mahasiswa yang lebih baik, sebagimana yang dinyatakan oleh kalangan kampus sendiri bahwa salah satu dimensi perkembangan manusia kampus adalah tahap otonom atau tingkat berprinsip oleh mahasiswa itu sendiri, dimana dalam tahap itu moralitas menjadi ukuran dalam setiap gerak langkah mahasiswa apakah melakukan hal yang benar atau sebaliknya? Atau Mungkin dunia kampus dimana mahasiswanya melakukan tindakan premanisme tidak mampu memberikan metode pendidikan pembebasan yang dialogis, artinya pendidikan yang membuka seluas-luasnya kesempatan untuk bertanya secara kritis, kesempatan untuk bebas berkelompok dan seterusnya sehingga mahasiswanya mengekspresikan sebuah keterkekangan dalam bentuk tindakan premanisme tadi. Dapat pula kita melihat kemungkinan yang lain bahwa dalam dunia kampus, para mahasiswa yang melakukan tindakan premanisme tidak mendapatkan keteladanan konkret yang mencerminkan kualitas mental dan moral yang tinggi dari semua elemen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan dunia kampus. Jika dua asumsi mendasar tadi (ruang-ruang dialogis bagi mahasiswa dan keteladanan mental dan moral) yang disebutkan diatas tidak ada dalam dunia kampus itu sendiri maka memang sulit untuk generasi dan semua elemen bangsa saat ini untuk mengharapkan lebih dari dunia perguruan tingi, kita kemudian tidak bisa menjamin bahwa dunia kampus sebagai wadah penggodokan kader-kader bangsa yang bermoral, cerdas, kreatif dan mampu membawa bangsa negara ini keluar dari krisis multidimensional saat ini
Bahkan kondisi hari ini, dimana tindakan premanisme tumbuh subur dalam kampus dan pelaku utama adalah manusia kampus itu sendiri mengindikasikan sebagaimana yang disinyalir almarhum Cak Nur beberapa tahun lalu bahwa saat ini, sangat mungkin mahasiswa bergerak mundur, dari Pelopor Gerakan Moral menjadi Obyek Gerakan Moral dari gerakan moral itu sendiri oleh sebagian masyarakat seperti kalangan pondok dengan tokoh kunci ulama.
MEMAHAMI LEBIH JERNIH, Mencari Akar Masalah
Mengikuti pemberitaan media elektronik maka Sebagai contoh yang konkret dan faktual akhir- akhir ini adalah mencermati perkembangan dunia kampus yang ada di Makassar Sulawesi Selatan, dimana manusia kampus menjadi pelopor dan pelaku dari serangkain tindakan yang sedikit “brutal” berbau kanibalisme dengan merusak fasilitias kampus ketika mereka saling menyerang. Kampus Universitas Negeri Makassar dengan manusia kampus fakultas seni dan teknik, kampus Universitas Hasanuddin (Unhas) dengan ulah tahunan perang mahasiswanya antara fakultas humaniora dan eksakta serta kampus-kampus lain di Makassar yang secara beruntun diberitakan oleh hampir semua media elektronik beberapa waktu yang lalu adalah contoh konkret dan menjadikan telinga kita akrab dengan kampus-kampus tadi dengan tindakan-tindakan premanismenya.
Untuk lebih jauh memahami permasalahan, langkah bijak yang bisa dilakukan adalah menanyak kepada para pelaku tindakan-tindakan yang sangat identik dengan premanisme, tindakan yang sangat tidak mencerminkan kaum intelektual. Dan ketika penulis sempat bertanya kepada beberapa pelaku dan jawaban pertanyaan kenapa mereka melakukan hal demikian, oleh pelaku hampir seragam bahwa tindakan demikian tidak lain karena tradisi turun temurun, sebuah warisan dari senior ke junior. Terlepas masalahnya dipicu dengan hal yang sepele (lebih sering berawal dari terjadinya salah paham antar individu yang kebetulan berlainan fakultas), tapi dapt dipastikan akan berujung pada perkelahian manusia kampus dengan mengatasnamakan fakultas masing-masing.
Ya, kembali tradisi sebagai kambing hitam dari seluruh tindakan premanisme di dunia kampus. memang betul bahwa ajaran-ajaran yang turun temurun kemudian melembaga menjadi sebuah tradisi sering menghambat laju gerak perkembangan, menghambat laju gerak perubahan ke arah yang lebih baik dan lebih maju. Bahkan dengan contoh diatas, tindakan premanisme yang dilegitimasi dengan tradisi, tindakan premanisme yang “diwajarkan” oleh manusia kampus karena mengatasnamakan sebuah tradisi memperlihatkan kepada kita bahwa betapa tradisi sering membuat kita jalan mundur jauh ke belakang. Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah sebagai kaum intelektual kenapa tidak mampu membongkar dan meningkalkan tradisi yang negatif?
Dengan jawaban para pelaku yang hampir seragama menyalahkan tradisi, maka kita dapat melihat lebih dalam, bahwa mungkin akar permasalahan berangkat dari sebuah budaya. Sebagaimana kita ketahui bahwa di hampir semua kampus di makassar yang telah disebutkan diatas, mempunyai kesamaan pola hubungan manusia kampus antara senior dan junior, sangat patriarkat. Di dalam kampus mereka, kita sering mendengar ada dua peraturan atau pasal, pasal pertama, senior selalu benar dan tidak pernah salah. Pasal Kedua, jika senior melakukan kesalahan/kekhilafan maka kembali ke pasal pertama. Jadi kesimpulan singkat kita dapatkan adalah tingkat senioritas yang sangat tinggi di dalam kampus. Hal ini diperkuat ketika penulis berkunjung ke kampus Universitas Hasanuddin Makassar, disana mahasiswa baru sangat enggan atau takut belanja ke kantin kampus yang dihuni oleh mayoritas senior, ada juga yang menarik, dimana salah satu jalan dalam kampus diklaim sebagai lorong senior sehingga tidak satupun mahasiswa baru atau anggatan batu dari manusia kampus yang berani melewati jalan tersebut.
Ketika asumsi diatas, kita jadikan patokan dalam mencari solusi, maka tentunya dibutuhkan sekelompok manusia kampus yaitu Creative Minority untuk membongkar dan melawan budaya patriarkat tersebut. Juga dengan mengikuti pemberitaan minggu ini kita lihat di media elektronik di salah satu kampus di papua, protes terhadap karena peloncoan yang dilakukan olehb senior mereka. Tidak menutup kemungkinan adanya beberapa senior yang tidak sepakat dengan budaya ini, dan bersama kelompok kecil tadi melawan dan melawan sehingga tercipta ruang-ruang demokratis antara senior dan junior serta seluruh elemen penyelenggara pendidikan di dunia kampus. Ketika hal demikian tercipta maka manusia kampus yang baru mengecap dunianya akan berpikir untuk mengikuti “doktrin-doktrin” senior yang kontra produktif sebagai kaum intelektual.
Hidup mahasiswa....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar