Minggu, 22 Maret 2009

Sorowako dan Sekitarnya

Maddaung wali Rukkelleng Mpoba:
”.......Temmaga Puang muloq seua rijajiammu, tabareq-bareq ri atawareng. Ajaq naonro lobbang linoe, makkatajangeng ri atawareng.Taddewata iq, Puang, rekkua masuaq tau ri awa langiq, le ri manegna peretiwie. Mattampa puang le ri Batara”.
Bersimpuh Rukkeleng Mpoba:
”.....Alangkah baik Tuanku menurunkan seorang keturunan, untuk menjelma di muka bumi. Agar dunia tak lagi kosong melompong, dan terang benderang paras dunia.Engkau bukanlah Dewata selama tak satu manusia pun di kolong langit, di permukaan pertiwi. Menegaskan Sri Paduka sebagai Batara”.
Demikian salah satu penggalan dialog dalam pembukaan naskah La Galigo, mitologi masyarakat Bugis tentang peristiwa kedatangan para dewa untuk mengisi bumi yang kosong dan petualangan keturunan mereka.
Laporan Rukkelleng Mpoba, pengawalnyamembuat Patoto’e (Sang Penentu Nasib) sejenak terpekur. Tak lama kemudian, diadakan musyawarah para dewa di istana Botting Langi’ atau kerajaan dewa di atas langit untuk membicarakan siapa gerangan generasi Patoto’e yang pantas diturunkan ke bumi.
Akhirnya, pilihan jatuh kepada putra kesayangan Patoto’e, La Togeq Langiq atau yang lebih dikenal Batara Guru untuk turun dan menjelma menjadi manusia di Ale Kawaq atau bumi. Menyusul pula diturunkan istana, saudara sesusuan, inang pengasuh.
We Nyilik Timo dimunculkan dari Peretiwi atau dunia bawah untuk menjadi permaisurinya. Dan sepasang dewa-dewi ini beranak cucu, meramaikan hiruk pikuk kehidupan duniawi. Dua anak cucu Batara Guru yang sangat terkenal adalah Sawerigading (generasi keempat) dan putranya I La Galigo (generasi kelima).Perjalanan kehidupan setiap tokoh generasi Batara Guru dikisahkan sangat detail sehingga membuat episode La Galigo menjadi panjang.
Manuskrip La Galigo yang tersimpan di Universitas Negeri Leiden, Belanda tercatat sepanjang ±360.000 bait. Sebagai perbandingan, epos Mahabarata dari India hanya sekitar ±160.000 bait dan sajak Homerus dari Yunani sekitar ±120.000 bait.Karena itu pula, seorang sutradara papan atas Amerika, Robert Wilson berani menyutradarai pementasan Teater La Galigo yang  berhasil memukau dunia internasional dalam pertunjukan bergengsi di Asia, Eropa, dan Amerika.
La Galigo merupakan karya sastra yang sarat makna dan kearifan budaya. Hal ini tercermin  antara lain dalam kisah diturunkannnya Batara Guru ke bumi. Sesungguhnya, menjadi manusia atau penghuni dunia tengah adalah momen yang paling menyakitkan dalam riwayat hidup Batara Guru. Ia kehilangan seluruh hak-hak istimewanya sebagai seorang dewa, sebagai putra sulung dan pangeran mahkota dari Sang Penentu Nasib yang menguasai seluruh alam.
Namun, ketahanan Batara Guru menjalani nasibnya sebagai manusia akhirnya memberi ia berkah yang sedemikian indah—begitu indah sehingga ia melupakan hasratnya untuk kembali ke langit; dan itu berarti ia melupakan ingatannya sebagai dewa. Ternyata menjadi manusia yang mampu melewati berbagai cobaan adalah berkah yang paling besar di seluruh alam, yang lebih menarik, lebih bermakna daripada menjadi dewa.
La Galigo kini bukan lagi hanya miliki orang Bugis, orang Indonesia, tetapi sudah menjadi bagian dari kekayaan sastra dunia.
Bumi Batara Guru bagi masyarakat Luwu,
Ikon Batara guru sebagai mula tau atau manusia pertama dipercaya merupakan sosok pemimpin utama di Tana Luwu, yang disebut Pajung atau Datu Luwu I. Posisi peran sentralnya itu kemudian mengalirkan nilai-nilai luhur, falsafah hidup dan wawasan kearifan.  
Penamaan Luwu Timur sendiri sebagai Bumi Batara Guru karena keyakinan tentang keberadaan tempat-tempat yang disebutkan dalam naskah  La Galigo berada di kawasan ini.  Diyakini, lokasi tempat Batara Guru menginjakkan kakinya pertama kali di bumi terletak di Kabupaten Luwu Timur sekarang ini, tepatnya di Bukit Panseumoni, kampung Cerekang (sebelah barat Kecamatan Malili). Hingga kini kampung tersebut masih dihuni oleh komunitas adat yang sangat ketat menjalankan ajaran kearifan budaya leluhur dari masa silam itu.Kabupaten Luwu Timur berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang diresmikan sebagai daerah otonomi pada tanggal 25 Februari 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar