Kamis, 16 April 2009

Seksualitas Menggugat Agama


Buku "In the Name of Sex" (Dok. GATRA)SUATU senja di sebuah mal ternama di Jakarta Selatan. Soffa Ihsan tengah bergegas hendak kembali ke tempat kosnya yang tak seberapa jauh dari pusat perbelanjaan itu. Ia tersentak ketika tiba-tiba seorang gadis cantik menegurnya. Lebih kaget lagi ketika si gadis bernama Karin itu tanpa sungkan-sungkan berkata pendek, "Gue pingin ama lu!"

Perkenalan selintas itu membawa lelaki muda ini berkelana menikmati suasana malam di jalanan Ibu Kota. "Gue lagi pingin happy.... Abis itu, gue ajak lu ke tempat gue. Nginep juga enggak apa. Asyik bangetlah. Bebas, kok." Ujung-ujungnya, tokoh kita ini pun menginap semalam di tempat kos gadis 23 tahun yang ternyata anak orang kaya itu.

Sekelumit pengalaman bertemu dengan "gadis mal" itu diungkapkan Soffa Ihsan mengawali bukunya. Selanjutnya, ia tak sungkan membeberkan sederet pengalaman menghirup kenikmatan sesaat bersama perempuan lain --dari yang muda hingga yang tua. Ia bertutur ihwal petualangannya di dunia prostitusi di kota besar hingga tempat-tempat terpencil di Sumatra.

Tapi, jangan terburu menghakimi. Tuturan Soffa ihwal petualangan seksual itu tidak vulgar. Itu hanya menjadi titik pijak untuk menguak pemikirannya ihwal hukum Islam (fikih) dan syariat agama. Bekas santri yang pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Filsafat UGM ini bergerak lebih jauh. Ia menggugat dalil-dalil yang mengatur kehidupan beragama yang tampak kontradiktif dengan fakta-fakta kehidupan modern.

Soffa menyangsikan aturan agama dapat menyelesaikan masalah faktual, seperti pelacuran, hubungan sejenis, seks bebas, yang tak memandang kelas di masyarakat itu. Ia memandang doktrin agama tafsiran ulama klasik yang pernah dilahapnya di pesantren tidak relevan lagi dengan kenyataan yang berkembang di masyarakat.

Ia menyuguhkan pertanyaan mendasar, misalnya tentang kewajiban menikah dalam Islam. Bagaimana bila seorang laki-laki tidak menikah karena secara eknonomi ia tidak mampu. Untuk memenuhi kebutuhannya sendiri saja terseok-seok, apalagi untuk beristri. Padahal, di lain pihak, hadis menyebutkan bahwa lelaki yang tak menikah bukanlah umat Muhammad.

Penerapan hukum pidana Islam sebagai jalan keluar untuk memecahkan kemaksiatan juga digugatnya. Lebih penting mana penerapan secara formal hukum Islam ketimbang penataan mental spiritual masyarakat melalui pendidikan. Arab Saudi sendiri, contohnya, yang menerapkan sepenuhnya hukum pidana Islam, tak mampu menyelesaikan penyimpangan perilaku seksual.

Gugatan terhadap term-term agama memang bukan baru kali ini terlontar dari anak muda. Pada 1970-an, Nurcholis Madjid pernah membuat geger dengan pemikirannya tentang sekularisasi yang melawan arus pemikiran mainstream pada masa itu. Gagasan "Islam Yes, Partai Islam No" yang digulirkan semasa memimpin majalah Mimbar Jakarta membawa Nurcholis berpolemik dengan H.M. Rasjidi dan Mohammad Roem.

Pada awal 1980-an, khazanah perbukuan Indonesia pernah pula ramai dengan kemunculan buku catatan harian Ahmad Wahib. Santri yang wartawan ini melontarkan gugatan terhadap berbagai terminologi dalam Islam. Dilatari pengalaman hidupnya di Asrama Realino bersama para pastor, sederet masalah teologis dan muamalah yang mengganjal dituangkannya lewat gugatan bernada filosofis.

Inti masalah yang pernah membuat gundah Cak Nur dan Ahmad Wahib di masa silam tampaknya juga mengganggu Soffa Ihsan. Yaitu ide bahwa ajaran Islam --termasuk fikih-- perlu aktualisasi agar dapat menyelesaikan problematik kemanusiaan yang semakin kompleks. Cuma, Soffa membatasi permasalahan itu di seputar fakta kehidupan seksualitas liar manusia masa kini yang dialaminya sendiri.

Buku ini memang berisi pemikiran yang berani. Juga terasa sangat berbeda dibandingkan dengan buku seperti Jakarta Underground (Sex and The City) yang diluncurkan Moammar Emka pada 2003 silam. Moammar hanya menuturkan fakta-fakta sebatas kehidupan seksual yang liar. Soffa membawa pembacanya berkelana di dunia pemikiran filosofis dan agamis, melompat-lompat di atas pandangan para filsuf, bahkan fuqaha dan ulama salaf.

Yang lebih berani lagi adalah KH Hussein Muhammad, yang memberikan pengantar untuk buku ini. Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid, Cirebon, ini mengingatkan, siapa pun yang membaca karya Soffa ini niscaya akan terperanjat. Boleh jadi, In The Name Of Sex bakal menuai gelombang protes, seperti dialami buku-buku kontroversial lainnya di masa lalu.

sumber:[Buku, Gatra Nomor 13 Beredar 4 Februari 2005]

2 komentar:

  1. Apakah buku ini masih ada?

    Kondisi baru / bekas tidak masalah

    Harga 2x lipat saya bayar

    Ini kontak saya whatsapp 082237781200 / pin bb: 7D11696B

    Terimakasih.

    BalasHapus
  2. Apakah buku ini masih ada?

    Kondisi baru / bekas tidak masalah

    Harga 2x lipat saya bayar

    Ini kontak saya whatsapp 082237781200 / pin bb: 7D11696B

    Terimakasih.

    BalasHapus